Minggu, 30 September 2012

Rumah Q-ta: Artikel

Rumah Q-ta: Artikel: Lihat artikel tentang Yoghurt sebagai: Makanan yang melangsingkan di Yoghurt dapat melangsingkan Yoghurt untuk ibu hamil   Manfaat Yoghu...

Senin, 02 Juli 2012

Ke Amerika


Tahun kedua bekerja di Perpustakaan IPB, tepatnya 1984, Aku mendapatkan kesempatan untuk belajar ke Amerika, tepatnya magang. Aku magang selama 4 bulan di Perpustakaan Kurt F. Wend Library di Faculty of Engeneering, University of Wisconsin, Madison. Ada pelajaran berharga dibalik persiapan tugas belajar atau magang ini. Sesungguhnya aku tidak pernah tahu bahwa ada program tugas belajar jangka pendek atau short term training ke Amerika. Tetapi sejak aku masuk kerja aku memang merasa harus mengasah bahasa Inggrisku. Honorku sebagai pegawai honorer waktu itu hanya Rp.30.000,- sebulan, namun aku sudah ikut kursus intensif bahasa Inggris dengan membayar Rp. 25.000,- sebulan. Aku lakukan itu karena aku menganggap penguasaan bahasa Inggris itu sangat penting untuk berkarir di masa depan. Untuk tambahan penghasilan buat makan aku menerima honor dari sebagai sekretaris jurusan dan honor mengajar (asisten dosen) di jurusan PIP. Kursus intensif itu aku hanya jalani tiga bulan saja. Selebihnya aku belajar sendiri. Setiap malam menjelang tidur aku selalu sempatkan membaca artikel berbahasa Inggris. Itu terus aku lakukan walaupun aku kurang begitu mengerti artinya. Kebiasaanku itu akhirnya berbuah juga. Aku dipanggil oleh sekretariat kerjasama IPB-Wisconsin Project, Ibu Rahardjo atau biasa dipanggil dengan Yu Non. Yu Non memanggil aku ke rumahnya pada malam minggu. Panggilannya disampaikan melalui mertua aku. Kebetulan Yu Non dengan mertua aku memang cukup akrab. Aku penuhi panggilannya ke rumahnya. Beliau memberitahu aku bahwa hari Senin aku harus ujian Bahasa Inggris di Jakarta. Aku tidak ingat tepatnya di gedung apa. Itu artinya aku hanya punya waktu satu hari untuk mempersiapkan ujian. Tidak mungkin persiapan belajar. Yang aku persiapkan adalah mencari fasilitas kendaraan agar bisa sampai ke tempat tes sepagi mungkin. Sebab tes dilakukan tepat pada pukul 8 pagi. Itulah untungnya aku nekad kursus bahasa Inggris dan mempunyai kebiasaan membaca bahasa Inggris. Hasilnya alhamdulillah aku lulus dan siap diberangkatkan ke Amerika untuk magang selama kurang lebih 4 bulan.

Menjadi PLH Kepala Perpustakaan


Pada tahun 1983 Kepala Perpustakaan IPB mendapatkan tugas ke Amerika Serikat selama kira-kira 4 bulan. Sebelum beliau berangkat, aku dipanggil. Saat itu, di ruang beliau, sudah ada Pak Slamet Ma’oen salah seorang dosen IPB dan sahabat Pak Fahidin, kepala Perpustakaanku. Satu lagi Pak Emir Siregar, juga dosen IPB dan ketua IRC. Beliau juga sahabat Pak Fahidin. Mereka sedang merundingkan siapa yang akan ditunjuk untuk menjadi pelaksana harian kepala Perpustakaan IPB dan pelaksana harian ketua jurusan PIP selama beliau ke luar negeri. Pilihan mereka jatuh padaku. Aku ditunjuk untuk menjadi PLH Kepala Perpustakaan selama kepala perpustakaan IPB menjalankan tugas ke luar negeri. Seingat aku yang menjadi PLH Ketua Jurusan PIP adalah Pak Slamet Ma’oen. Tetapi karena aku juga menjadi sekretaris di Jurusan PIP, maka pekerjaan-pekerjaan di Jurusan PIP tetap menjadi tanggung jawabku. Disinilah aku mulai belajar manajemen. Kata orang aku belajar dengan cara “learning by doing”.

Selama menjalankan manajemen perpustakaan sebagai PLH, aku banyak mendapatkan tantangan. Aku yang baru saja masuk menjadi pegawai negeri dan baru diangkat sebagai CPNS sudah diminta memimpin perpustakaan. Perpustakaan IPB lagi. Staf yang aku pimpin banyak yang sudah sangat senior dan sudah puluhan tahun bekerja di Perpustakaan IPB. Beberapa staf tersebut pernah menjadi Kepala Perpustakaan Fakultas sebelum ada perubahan struktur dan digabung menjadi Perpustakaan IPB. Aku melakukan pendekatan ke staf-staf senior perpustakaan dan selalu minta nasehat. Setidaknya aku selalu minta pendapat jika mau memutuskan sesuatu sebagai “second opinion”. Saat aku memutuskan siapa yang akan diangkat menjadi PNS pada saat itu, aku salah memutuskan. Aku tidak melihat senioritas pegawai honorer yang mau diangkat. Jadilah pegawai honorer yang lebih muda diangkat lebih dulu daripada pegawai yang lebih lama menjadi pegawai honorer. Sebetulnya keputusanku itu dikatakan salah juga tidak sepenuhnya benar. Sebab pada waktu itu aku lebih melihat kepada performance dan kompetensi pegawai yang akan diangkat. Aku memilih yang terbaik dari calon yang ada, bukan memilih berdasarkan senioritas. Namun akibatnya fatal bagi saya. Bertahun-taun aku tidak bisa mendekati staf yang merasa di”dzolimi” itu. Namun ketika yang bersangkutan pada akhirnya dapat diangkat mennjadi PNS, aku menjadi dekat dengan beliau, bahkan orang itu menjadi andalanku ketika aku memimpin bidang pelayanan.

Merangkap Sekretaris Jurusan


Pada saat aku baru menjalani 4 bulan dari 6 bulan yang harus aku jalani kuliah crash programme di UI, aku dipanggil oleh kepala perpustakaan. Kepala Perpustakaanku ini juga ketua jurusan di Jurusan Perpustakaan dan Informatika Pertanian, Fakultas Politeknik Pertanian. Aku diminta untuk menjadi sekretarisnya, karena sekretaris beliau mendapatkan tugas belajar mengambil gelar S2 di Amerika. Mula-mula aku menolak dengan alasan bahwa program belajarku di JIP-FSUI belum selesai. Alasan yang kedua adalah ada teman-teman yang tidak sedang tugas belajar dan bisa menjadi sekretaris di Jurusan PIP. Tetapi Pak Fahidin, Ketua Jurusan PIP, meyakinkan aku bahwa akulah yang paling tepat untuk memegang sekretaris jurusan yang memang diproyeksikan untuk jangka panjang. Karena itulah maka jadilah aku yang baru masuk ke perpustakaan, bahkan belum pernah bekerja sedikitpun, mendapatkan tugas rangkap yaitu menjadi sekretaris jurusan.

Hari-hari di Perpustakaan


Seperti telah dikisahkan hari pertama di perpustakaan aku sudah diminta untuk mengikuti pendidikan singkat di Jurusan Ilmu Perpustakaan, Fakultas Sastra di UI. Selama enam bulan aku menimba ilmu perpustakaan di almamater keduaku tersebut. Pulang pendidikan aku tidak segera ditempatkan di bagian-bagian yang ada di perpustakaan IPB. Aku hanya membantu kepala Perpustakaan IPB mengerjakan tugas-tugas administrasi. Selain itu aku diminta untuk membuat rencana pengembangan perpustakaan IPB.

Aku kemudian menyusun rencana restrukturisasi organisasi Perpustakaan IPB. Ini aku lakukan karena aku melihat organisasi yang ada tidak efisien dan tumpang tindih. Usulanku ini berbuah pahit bagiku. Aku dimusuhi oleh pegawai-pegawai senior yang ada di Perpustakaan IPB. Namun aku pantang menyerah. Kelak terbukti bahwa restrukturisasi tersebut memang membawa perbaikan kepada kinerja Perpustakaan IPB. Sukses melakukan restrukturisasi organisasi Perpustakaan IPB, aku kemudian diminta oleh Kepala Perpustakaan IPB untuk memimpin Bidang Pelayanan di Perpustakaan IPB. Jabatan ini aku dijalani selama 6 tahun.

Kuliah di UI


Baru sehari Aku bekerja, aku dikirim oleh IPB untuk mengikuti program sertifikat untuk perpustakaan dan dokumentasi yang merupakan program pendidikan singkat kerjasama Dirjen Pendidikan Tinggi dengan Universitas Indonesia. Perkenalanku dengan dunia pustakawan dan kepustakawanan sesungguhnya dimulai disini. Mulailah aku berkenalan dengan katalogisasi, klasifikasi, sirkulasi, referensi dan istilah-istilah lain yang sebelumnya sama sekali asing ditelingaku. Aku masuk ke UI terlambat satu hari. Itu karena pengurusan surat ijin dari PR I yang mendadak sehingga tidak bisa segera selesai. Ada kejadian lucu ketika pertama kali aku masuk kelas di JIP-FSUI. Aku ditanya oleh ketua kelas dan disangka mahasiswa S1 nyasar salah masuk kelas. Itu karena postur tubuhku yang kecil dan masih pantas menjadi murid SMA atau paling tinggi kalau kuliah ya tingkat 1. Tapi aku meyakinkan ketua kelasku itu bahwa aku adalah bagian dari kelas mereka. Mula-mula aku memang tidak diperhitungkan di kelas. Karena aku paling muda, maka aku menjadi orang yang paling sering disuruh-suruh. Biasanya aku yang disuruh memfotokopi, mengambilkan overhead proyektor, mengecek dosen dan macam-macam pekerjaan.

Namun dengan berjalannya waktu aku terus mencuri simpati peserta lain dan dosen-dosen JIP-FSUI. Sesuai dengan semangat belajar dan semangat bersaingku maka Aku tidak mau kalah dengan peserta lain yang semuanya lebih tua usianya. Aku meraih nilai sangat bagus dan mendapatkan posisi peserta kedua terbaik. Hanya selisih nilai satu angka saja pada pelajaran yang sangat memerlukan kemampuan berbahasa Inggris dari seorang peserta yang memang dari Jurusan Sastra Inggris. Beberapa dosen yang dianggap “killer” oleh peserta pendidikan atau oleh mahasiswa reguler mampu aku “taklukkan”. Nilai-nilaiku untuk mata kuliah dosen “killer” itu malah bagus. Bahkan yang tidak pernah aku lupakan adalah seorang dosen senior, Ibu Kalangie, menawariku untuk menjadi dosen di JIP-FSUI. Sayang sekali tawaran itu tidak bisa aku terima karena aku sudah terlanjur menandatangani kontrak dengan Pembantu Rektor I IPB.

Rabu, 20 Juni 2012

Masuk Perpustakaan IPB


Sebetulnya dosen pembimbingku memintaku untuk mejadi dosen. Tapi IPku tidak memenuhi syarat minimal untuk menjadi dosen. Aku menolak dengan halus ketika pembimbingku menawariku rekomendasi dan menjamin akan  diterima menjadi dosen walaupun IPku di bawah syarat minimal.  Karena aku menolak menjadi dosen, maka pembimbingku memberi surat pengantar untuk menghadap ke Direktur IRC, Pak Emir Siregar, lembaga yang baru dibentuk oleh IPB. Ketika aku bertemu dan diwawancarai oleh Direktur IRC aku yakin bahwa lamaranku akan diterima. Betul saja, aku diminta untuk menghadap Kepala Perpustakaan IPB, Pak Fahidin, untuk proses pengangkatan pegawai negeri. Direktur IRC ketika itu menjelaskan bahwa sebagai lembaga baru IRC belum bisa melakukan rekrutmen sendiri. Pegawainya harus direkrut dari lembaga atau unit yang memang telah diakui oleh pemerintah. Satu-satunya unit yang paling dekat dengan kompetensi IRC adalah perpustakaan. Maka kemudian Aku menjadi pegawai di Perpustakaan IPB. Aku mulai bekerja di Perpustakaan IPB bulan September 1982 sebagai tenaga honorer. Honor pertamaku sebesar Rp. 30.000,- diterima pada akhir bulan. Namun pada awal bulan aku bekerja aku sudah diminta mengurus pendaftaran untuk mengikuti pendidikan singkat ke Jakarta dan aku diberi uang yang juga cukup untuk hidup satu bulan.

Jalan menuju Pustakawan


Aku lulus dari Fakultas Peternakan IPB tahun 1982. Aku kemudian bercita-cita untuk bekerja di farm atau peternakan besar. Profesi dosen yang aku cita-citakan telah aku lupakan. Aku lalu melamar ke beberapa perusahaan peternakan. Namun ketika itu banyak perusahaan besar di bidang peternakan yang belum mau berkembang lebih besar lagi. Kebijakan pemerintah ketika itu adalah mengembangkan peternakan rakyat. Karena itu aku tidak kunjung mendapat pekerjaan. Aku juga mencoba melamar menjadi pegawai negeri ke Direktorat Jenderal Peternakan. Namun aku harus bersabar karena rekrutmen pegawai masih belum dilakukan.

Ditengah kegalauanku menunggu panggilan aku didatangi seorang teman akrabku yang membawa informasi bahwa almamaterku sedang membangun suatu lembaga baru yang bernama Information Resources Center, sebuah lembaga yang akan mengelola semua informasi di IPB. Salah seorang yang tahu persis apa yang akan dikembangkan oleh IPB itu adalah dosen pembimbingku, Pak Asep Saefuddin. Aku lalu mendatangi dosenku untuk meminta penjelasan sekaligus meminta saran apakah aku cocok kalau melamar menjadi staf di lembaga baru itu. Penjelasan dosen pembimbingku membuat aku mantap untuk melamar ke lembaga baru itu.

Senin, 18 Juni 2012

Kuliah di IPB


IPB sebetulnya bukan tujuanku untuk kuliah. Pertama karena tempatnya amat sangat jauh dari desaku. Yang kedua, aku lebih tertarik kepada teknik, khususnya teknik elektro. Karena itu aku sangat ingin untuk masuk ke ITS di Surabaya. Tetapi ternyata ITS bagiku tidak terjangkau. Menurut salah seorang familiku yang berhasil masuk ke ITS, biaya masuknya sangat mahal, khususnya bagi keluargaku yang tergolong keluarga tidak mampu. Jadi aku kubur angan-anganku masuk ke ITS. 

Masuk ke IPB berawal dari ketika pada semester lima kelas tiga SMA beberapa alumni SMAku yang sudah kuliah di IPB datang ke SMAku membawa berita bahwa IPB menerima mahasiswa tanpa tes. Disampaikan pula bahwa di IPB banyak beasiswa yang bisa diperoleh. Tentu saja asal memenuhi syarat. Dari kunjungan kakak kelasku itulah muncul kembali harapan aku bisa masuk perguruan tinggi. Bagiku yang penting kuliah. Tidak masalah di universitas yang bukan pilihanku. Jadilah aku mengalihkan minat kuliahku ke IPB. Aku pikir apa salahnya aku coba. Toh di IPB juga bisa belajar hal yang berkaitan dengan teknologi. Aku melamar ke IPB dengan jalur tanpa tes. Namun aku menghadapi kesulitan ketika aku harus minta persetujuan Bapak. Kebetulan Bapak, Ibu serta adik-adikku sedang berada di Kalisat karena pada waktu itu sedang libur sekolah. Aku sendiri sedianya akan menyusul ke Kalisat segera setelah pulang dari study tour SMAku. Kebetulan kelasku sedang study tour ke Bendungan Karangkates di Malang. Formulir pendaftaran tersebut diberikan kepadaku di bis pada saat kami baru tiba dari study tour tersebut. Kalau aku ke Kalisat dulu untuk meminta tanda tangan Bapak, maka aku akan kehabisan waktu dan kemungkinan aku terlambat mengembalikan formulir pendaftaran. Selain itu aku juga tidak punya cukup uang untuk perjalan dari Bangkalan ke Kalisat dan kembali lagi ke Bangkalan. Kemudian aku konsultasi ke PakDe Toha (alm). Aku meminta persetujuan untuk memalsu tandatangan Bapak. Karena beliau mengatakan gak apa-apa kalau dalam keadaan terpaksa, maka aku nekad untuk memalsu tandatangan Bapak. Aku pikir toh ini untuk kebaikan. Bukan untuk disalahgunakan. 

Akhirnya berita bahwa aku diterima di IPB datang juga. Dari SMAku ada empat orang yang diterima yaitu Aku, Saleh, Ida dan Poppy. Teman-teman grup belajarku yang heboh menerima berita ini. Kebetulan berita itu diumumkan pada waktu upacara bendera 17an. Selesai upacara aku digotong rame-rame dan diarak keliling halaman SMAku.

Diterima di IPB malah membuat aku gundah. Aku merasa tidak mungkin orang tuaku bisa membiayaiku ke perguruan tinggi. Namun kedua orang tuaku yang menyadari bahwa pendidikan adalah hal nomor satu yang harus diberikan kepada anaknya, nekad untuk mengirim aku ke IPB. Banyak kesulitan yang aku hadapi ketika belajar di IPB. Sejak awal keberangkatanku ke Bogor saja aku sudah merasa mendapat kesulitan. Bayangkan, ketika kami berempat berangkat sama-sama, cuma aku yang tidak diantar ke Bogor oleh keluarga. Ayahku tidak memiliki cukup biaya untuk ongkos beliau mengantar aku. Setidaknya beliau berpikir lebih baik uang untuk ongkos beliau diberikan kepadaku sebagai tambahan bekalku. Teman-temanku semua diantar oleh orang tuanya ke Bogor. Bahkan ketika mendaftar ulang ke IPB mereka didampingi oleh keluarganya. Sedangkan aku hanya sendirian. Sedih juga sih. 

Kesulitan-kesulitan lain terus membuntuti aku. Dari kiriman terlambat, sampai kiriman yang sangat terbatas membuatnya hidupku sangat prihatin. Aku terpaksa memilih tempat kos yang sangat sederhana dan jauh dari kampusku supaya murah. Karena biaya untuk melanggan nasi “rantangan” lebih besar daripada kiriman orang tuaku, maka aku memilih memasak nasi sendiri. Aku bergabung dengan teman-teman sesama kurang mampu dan “bareng-bareng” masak nasi sendiri. Lauk pauk yang paling mewah adalah telur rebus. Itupun dua minggu pertama sejak menerima kiriman. Sedangkan hari-hari berikutnya kami biasanya makan hanya dengan garam dan cabe saja. Kadang orang tuaku mengirimkan “srundeng”. Makanan dari parutan kelapa yang digoreng tanpa minyak sampai berwarna kuning. Srundeng itulah yang biasa menjadi lauk-pauk makanku sehari-hari. Jika teman-temanku naik bemo ke kampus, maka aku terpaksa berjalan kaki dari tempat kost ke kampusku yang berjarak cukup jauh. Kesulitan-kesulitan itu menyebabkan aku tidak mampu untuk mengerahkan segala kemampuanku untuk berprestasi. Aku sering menangis di tengah malam memikirkan kesulitan-kesulitan orang tuaku mencari uang untuk membiayaiku. Aku bayangkan Bapak harus menyisihkan seperempat penghasilannya untukku seorang, sementara yang tiga perempat untuk membiayai hidup Bapak, Ibu serta adik-adikku yang berjumlah 7 orang. Aku merasa tidak adil. Karena itu aku pernah berpikir untuk berhenti saja kuliah dan mencari kerja untuk meringankan beban orang tuaku. Aku sempat melamar menjadi guru honorer di sebuah SMP swasta di Bogor. Sayang sekali, karena postur tubuhku yang kecil aku tidak diterima menjadi guru. Mungkin kepala sekolahnya khawatir aku tidak bisa berwibawa dalam mengajar karena tubuhku yang hampir sama besarnya dengan murid yang harus aku ajar. Tahun ketiga kuliah aku mendapatkan beasiswa dari pemerintah. Sejak itulah kemampuanku kemudian dapat digenjot dan aku berhasil menaikkan nilai-nilaiku. Namun karena tahun pertama dan kedua nilaiku tidak terlalu bagus, maka aku lulus IPB dengan nilai kumulatif yang kurang cemerlang. Karena indek prestasiku yang kurang itulah cita-citaku untuk menjadi dosen kandas di tengah jalan.