Senin, 18 Juni 2012

Kuliah di IPB


IPB sebetulnya bukan tujuanku untuk kuliah. Pertama karena tempatnya amat sangat jauh dari desaku. Yang kedua, aku lebih tertarik kepada teknik, khususnya teknik elektro. Karena itu aku sangat ingin untuk masuk ke ITS di Surabaya. Tetapi ternyata ITS bagiku tidak terjangkau. Menurut salah seorang familiku yang berhasil masuk ke ITS, biaya masuknya sangat mahal, khususnya bagi keluargaku yang tergolong keluarga tidak mampu. Jadi aku kubur angan-anganku masuk ke ITS. 

Masuk ke IPB berawal dari ketika pada semester lima kelas tiga SMA beberapa alumni SMAku yang sudah kuliah di IPB datang ke SMAku membawa berita bahwa IPB menerima mahasiswa tanpa tes. Disampaikan pula bahwa di IPB banyak beasiswa yang bisa diperoleh. Tentu saja asal memenuhi syarat. Dari kunjungan kakak kelasku itulah muncul kembali harapan aku bisa masuk perguruan tinggi. Bagiku yang penting kuliah. Tidak masalah di universitas yang bukan pilihanku. Jadilah aku mengalihkan minat kuliahku ke IPB. Aku pikir apa salahnya aku coba. Toh di IPB juga bisa belajar hal yang berkaitan dengan teknologi. Aku melamar ke IPB dengan jalur tanpa tes. Namun aku menghadapi kesulitan ketika aku harus minta persetujuan Bapak. Kebetulan Bapak, Ibu serta adik-adikku sedang berada di Kalisat karena pada waktu itu sedang libur sekolah. Aku sendiri sedianya akan menyusul ke Kalisat segera setelah pulang dari study tour SMAku. Kebetulan kelasku sedang study tour ke Bendungan Karangkates di Malang. Formulir pendaftaran tersebut diberikan kepadaku di bis pada saat kami baru tiba dari study tour tersebut. Kalau aku ke Kalisat dulu untuk meminta tanda tangan Bapak, maka aku akan kehabisan waktu dan kemungkinan aku terlambat mengembalikan formulir pendaftaran. Selain itu aku juga tidak punya cukup uang untuk perjalan dari Bangkalan ke Kalisat dan kembali lagi ke Bangkalan. Kemudian aku konsultasi ke PakDe Toha (alm). Aku meminta persetujuan untuk memalsu tandatangan Bapak. Karena beliau mengatakan gak apa-apa kalau dalam keadaan terpaksa, maka aku nekad untuk memalsu tandatangan Bapak. Aku pikir toh ini untuk kebaikan. Bukan untuk disalahgunakan. 

Akhirnya berita bahwa aku diterima di IPB datang juga. Dari SMAku ada empat orang yang diterima yaitu Aku, Saleh, Ida dan Poppy. Teman-teman grup belajarku yang heboh menerima berita ini. Kebetulan berita itu diumumkan pada waktu upacara bendera 17an. Selesai upacara aku digotong rame-rame dan diarak keliling halaman SMAku.

Diterima di IPB malah membuat aku gundah. Aku merasa tidak mungkin orang tuaku bisa membiayaiku ke perguruan tinggi. Namun kedua orang tuaku yang menyadari bahwa pendidikan adalah hal nomor satu yang harus diberikan kepada anaknya, nekad untuk mengirim aku ke IPB. Banyak kesulitan yang aku hadapi ketika belajar di IPB. Sejak awal keberangkatanku ke Bogor saja aku sudah merasa mendapat kesulitan. Bayangkan, ketika kami berempat berangkat sama-sama, cuma aku yang tidak diantar ke Bogor oleh keluarga. Ayahku tidak memiliki cukup biaya untuk ongkos beliau mengantar aku. Setidaknya beliau berpikir lebih baik uang untuk ongkos beliau diberikan kepadaku sebagai tambahan bekalku. Teman-temanku semua diantar oleh orang tuanya ke Bogor. Bahkan ketika mendaftar ulang ke IPB mereka didampingi oleh keluarganya. Sedangkan aku hanya sendirian. Sedih juga sih. 

Kesulitan-kesulitan lain terus membuntuti aku. Dari kiriman terlambat, sampai kiriman yang sangat terbatas membuatnya hidupku sangat prihatin. Aku terpaksa memilih tempat kos yang sangat sederhana dan jauh dari kampusku supaya murah. Karena biaya untuk melanggan nasi “rantangan” lebih besar daripada kiriman orang tuaku, maka aku memilih memasak nasi sendiri. Aku bergabung dengan teman-teman sesama kurang mampu dan “bareng-bareng” masak nasi sendiri. Lauk pauk yang paling mewah adalah telur rebus. Itupun dua minggu pertama sejak menerima kiriman. Sedangkan hari-hari berikutnya kami biasanya makan hanya dengan garam dan cabe saja. Kadang orang tuaku mengirimkan “srundeng”. Makanan dari parutan kelapa yang digoreng tanpa minyak sampai berwarna kuning. Srundeng itulah yang biasa menjadi lauk-pauk makanku sehari-hari. Jika teman-temanku naik bemo ke kampus, maka aku terpaksa berjalan kaki dari tempat kost ke kampusku yang berjarak cukup jauh. Kesulitan-kesulitan itu menyebabkan aku tidak mampu untuk mengerahkan segala kemampuanku untuk berprestasi. Aku sering menangis di tengah malam memikirkan kesulitan-kesulitan orang tuaku mencari uang untuk membiayaiku. Aku bayangkan Bapak harus menyisihkan seperempat penghasilannya untukku seorang, sementara yang tiga perempat untuk membiayai hidup Bapak, Ibu serta adik-adikku yang berjumlah 7 orang. Aku merasa tidak adil. Karena itu aku pernah berpikir untuk berhenti saja kuliah dan mencari kerja untuk meringankan beban orang tuaku. Aku sempat melamar menjadi guru honorer di sebuah SMP swasta di Bogor. Sayang sekali, karena postur tubuhku yang kecil aku tidak diterima menjadi guru. Mungkin kepala sekolahnya khawatir aku tidak bisa berwibawa dalam mengajar karena tubuhku yang hampir sama besarnya dengan murid yang harus aku ajar. Tahun ketiga kuliah aku mendapatkan beasiswa dari pemerintah. Sejak itulah kemampuanku kemudian dapat digenjot dan aku berhasil menaikkan nilai-nilaiku. Namun karena tahun pertama dan kedua nilaiku tidak terlalu bagus, maka aku lulus IPB dengan nilai kumulatif yang kurang cemerlang. Karena indek prestasiku yang kurang itulah cita-citaku untuk menjadi dosen kandas di tengah jalan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar