Selasa, 14 Desember 2010

Masa Kecil

Aku dilahirkan di desa Ajung kira-kira 25 km dari kota Jember, Jatim. Ayahku, Abd Matin, adalah seorang guru SD di Sukowono, sedangkan Ibuku, Suratmi, hanya Ibu rumah tangga biasa. Ketika aku umur setahun ayahku diangkat menjadi kepala SD disebuah desa terpencil di Madura, yaitu Desa Dabung. Aku dibawa pindah. Namun karena desa tempat ayahku bertugas sangat terpencil maka aku bersama ibuku dititipkan kepada nenek yang tinggal tidak jauh dari kota Bangkalan.

Tidak banyak yang aku ingat mengenai masa kecilku. Masa kecilku dilalui di desa Petrah kira-kira 20 km dari Bangkalan. Desa Petrah pada tahun 60an adalah desa yang sangat tertinggal. Tidak ada listrik. Bahkan angkutan yang paling dominan waktu itu adalah delman dan sepeda. Mobil yang biasa membawa rakyat dari desa ke kota Bangkalan bisa dihitung dengan jari sebelah tangan. Yang terbagus adalah mobil Ford kodok. Yang lain berbentuk oplet Mandra di Sinetron “Si Doel Anak Sekolahan”. Aku anak pertama dari 10 bersaudara. Tapi dari sepuluh saudaraku itu hanya 8 orang yang hidup. Adikku yang nomor 3 meninggal ketika aku SMA, sedangkan adik bungsuku meninggal ketika dilahirkan. Ketika itu aku sudah kuliah di IPB. Aku bahkan tidak pernah melihat adik bungsuku itu. Sebagai anak pertama, aku diajar mandiri. Kehidupan keluargaku ketika aku kecil sangat sulit. Ayahku hanyalah seorang guru desa yang sederhana dengan gaji yang sangat kecil. Gaji Ayah hanya cukup untuk beberapa hari. Karena itu untuk membantu ekonomi keluarga, Ibuku menjadi penjahit baju, khusunya baju ibu-ibu di kampungku maupun kampung sebelah. Selain itu ayah ke sekolah tidak malu-malu sambil berjualan manisan gulali. Manisan gulali itu disiapkan oleh Ibu dan sudah dibungkus dengan kertas minyak. Sesungguhnya bukan ayah yang langsung berjualan di sekolah, melainkan murid-murid ayah yang membantu berjualan. Ayah hanya membawa manisan itu dari rumah. Aku sendiri sambil sekolah berjualan balon tiup. Balon jualanku diambil dari Bude dengan sistem setoran. Sesudah sekolah aku tidak benar-benar bebas bermain, karena aku harus mengasuh adik-adikku ketika Ibu harus menyelesaikan jahitan pesanan orang. Kadang-kadang aku memasak di dapur dan Yun, adikku yang mengasuh adik-adikku  yang lain. Ditengah-tengah kesulitan ekonomi itulah aku tumbuh dan menjadi besar.

Di desa tempatku tumbuh belum ada sekolah TK. Jadi pada umur 5 tahun aku langsung masuk SD. Pada umumnya anak-anak di desa aku bersekolah sampai kelas 3 saja. Selesai kelas 3 yang laki-laki melanjutkan ke pesantren, sedang yang perempuan membantu ibunya di dapur sambil menyiapkan diri untuk disunting pria. Ada juga beberapa anak wanita yang pergi ke pesantren. Tapi biasanya anak itu berasal dari anak orang kaya atau terpandang. Hampir tidak ada anak yang melanjutkan ke SMP. Beberapa anak memang sempat melanjutkan ke Sekolah Pendidikan Guru Agama (PGA). Tapi umumnya hanya bertahan satu tahun. Sejak SD aku memang selalu ingin menjadi yang terbaik. Aku selalu menduduki kelompok tiga besar. Bahkan ketika aku mengikuti ujian negara, aku adalah salah satu dari tiga orang yang lulus dari SDku dan nilaiku termasuk yang tertinggi diantara ketiganya.

Lulus SD aku harus pindah ke kota untuk melanjutkan ke SMP sebab di desaku belum ada SMP. Di SMPku tidak termasuk murid yang menonjol, maklum sebagai anak desa aku selalu merasa rendah diri bergaul dengan anak kota. Walaupun rendah diri, tapi aku sejak kecil sudah menjadi anak yang mandiri. Buktinya, ketika aku akan masuk SMP aku mendaftar sendiri tanpa didampingi oleh orang tua. Aku datang sendiri ke SMP I Bangkalan dan menyerahkan tanda lulus ujian negara aku. Hebatnya ketika itu tidak ada pungutan apapun untuk masuk SMP.

Ketika masuk SMP itu aku termasuk kelompok anak yang memiliki tubuh kecil. Bahkan mungkin akulah yang terkecil. Dengan dialek desa yang tentu berbeda dengan anak kota Bangkalan dan ukuran tubuh yang nyaris mungil aku menjadi anak yang tidak percaya diri. Tanpa kepercayaan diri maka aku tidak bisa mengembangkan bakat aku. Sesungguhnya aku selalu ingin menjadi pemimpin. Pada waktu SD aku diwajibkan ikut pramuka. Karena tubuh mungilku maka aku tidak pernah ditunjuk menjadi komandan regu oleh pelatihku. Tetapi aku selalu aktif ikut menyiapkan regu walaupun aku bukan komandan regu. Tetapi ketika SMP bakat kepemimpinanku ini tidak bisa berkembang. Dengan kata lain bakatku mati karena tidak percaya diri. Aku juga hobi menyanyi. Pada waktu SD aku sempat menyanyi di panggung pada acara perpisahan dengan anak kelas 6. Ketika SMP ada acara perpisahan dan setiap kelas diminta menyumbang acara, maka aku sangat ingin tampil menyanyi dengan diiringi oleh band RKPD. Tapi lagi-lagi aku tidak terpilih. Mungkin karena postur tubuh dan wajahku yang tidak mendukung. Maka lengkaplah sudah ketidak percayaan diriku saat itu. Nilai-nilaiku pada waktu itu sangat buruk. Kelas 2 SMP itulah masa studi terburukku. Kemudian aku berkenalan dengan seorang ustad yang mengajar ngaji. Namanya ustad Musta’in. Sebenarnya aku tidak sengaja mengenal ustad ini. Kebetulan ustad Musta’in diundang mengajar ngaji anak tetangga kos aku. Sesudah kenal baik dengan ustad Musta’in aku kemudian diajak ikutan mengaji kepada ustad ini. Aku sering mengantar ustad Musta’in pulang ke rumahnnya usai mengajar ngaji. Aku juga sering ikut ke rumahnya yang lain untuk membantunya bersih-bersih rumah, karena rumahnya ini kosong. Biasanya sambil menunggu waktu sholat ustad Musta’in sering menceritakan kisah-kisah para nabi serta sahabat rosulullah. Aku juga sering dibawa menyepi untuk merenung oleh ustad ini. Hasilnya, aku mulai bangkit dan perlahan-lahan percaya diriku mulai meningkat. Nilai-nilaiku mengalami perbaikan. Puncaknya aku bisa lulus tes untuk masuk SMA. Aku betul-betul berhutang budi kepada ustad yang satu ini. Sampai saat aku dewasa dan bahkan hampir memasuki usia pensiun aku tidak pernah mendengar kabar tentang ustadku itu. Jika beliau masih hidup semoga beliau selalu sehat-sehat saja dan selalu diberi perlindungan oleh Allah SWT. Jika beliau sudah meninggal semoga beliau ditempatkan di tempat yang mulia disisiNya.

Ketika menginjak SMA prestasiku terus berkembang. Kemauan yang keras membawa aku kepada prestasi yang memuaskan. Aku lulus SMA dengan posisi ketiga terbaik dari SMAku dan kemudian aku diterima di IPB melalui jalur proyek perintis I yaitu tanpa melalui  tes masuk perguruan tinggi. Sayang, prestasi dibidang akademik ini tidak diikuti dengan prestasi lainnya. Dalam hal pergaulan dengan teman-teman, aku tetap rendah diri. Maklum aku berasal dari keluarga yang tidak mampu. Dari desa pula. Aku selalu menolak jika ada teman aku yang mau berkunjung ke rumahku. Maklum rumah orang tuaku hanyalah rumah bilik dengan ukuran 6x6 meter persegi. Rumah sekecil itu diisi oleh 7 orang. Di dalam rumah itu tidak ada kamar. Hanya ada satu ranjang kuno berukuran besar dan satu dipan. Ibu dan adik-adik yang masih kecil semua tidur di ranjang, sedang Bapak tidur di dipan. Anak laki-laki yang sudah beranjak remaja tidak tidur di dalam rumah, tetapi tidur di langgar (musholla keluarga). Begitu juga aku dan adik laki-lakiku  yang mulai akil balig semua tidur di langgar bersama dengan saudara-saudara sepupuku. Maka ramailah langgar itu karena dihuni oleh lima sampai sepuluh orang remaja. Karena itulah aku tidak pernah membawa teman-teman aku ke rumah orang tuaku. Aku juga sangat membatasi diri untuk bergaul dengan teman wanita. Sesekali aku memang tertarik dengan teman wanita, tetapi ketertarikanku selalu aku bunuh sehingga cinta tidak pernah bersemi di hatiku. Cintaku hanya di angan-angan saja. Untuk menutupi ketidak PD-anku aku menuliskan kisah-kisah cinta hasil angan-anganku di buku harianku. Sesungguhnya apa yang aku tulis di buku harian itu tidak pernah betul-betul terjadi. Setidaknya tidak pernah ada kisah cinta. Yang ada hanya kisah cinta di angan-anganku saja. Seperti lagunya Gombloh yang berjudul “di angan-angan”.

Di kelas satu SMA prestasi sekolahku memang sangat baik. Aku ingat ketika Bu Suk (Bu Habsah), guru biologiku menyangsikan nilai ulangan di kelasku yang rata-rata tinggi, mengulangi ulangan biologi dengan ulangan lisan. Ulangan itu diberikan kepada murid dengan kelompok kecil. Satu kelompok terdiri dari 5 orang, dan pertanyaan diberikan kepada murid secara bergiliran. Jika murid pertama tidak bisa menjawab, maka pertanyaan itu diberikan ke murid kedua. Begitu seterusnya. Aku menjawab hampir seluruh pertanyaan jatahku ditambah dengan menjawab pertanyaan jatah teman-temanku. Bu Suk kemudian percaya atas kemampuanku dan nyaris memberi nilai 10 di raporku. Di pelajaran kimia aku juga mendapat kepercayaan Bu Chunaimah untuk menyiapan bahan-bahan praktikum. Mungkin semacam asisten guru. Hanya pada pelajaran matematika aku agak lemah. Mungkin karena gurunya menyelenggarakan les bagi siswa, maka mengajarnya tidak terlalu optimal, dan pelajaran itu diulang di tempat les. Dan bisa ditebak aku tidak mampu membayar les. Dan karena itulah aku menjadi lemah di pelajaran matematika.