Senin, 02 Juli 2012

Menjadi PLH Kepala Perpustakaan


Pada tahun 1983 Kepala Perpustakaan IPB mendapatkan tugas ke Amerika Serikat selama kira-kira 4 bulan. Sebelum beliau berangkat, aku dipanggil. Saat itu, di ruang beliau, sudah ada Pak Slamet Ma’oen salah seorang dosen IPB dan sahabat Pak Fahidin, kepala Perpustakaanku. Satu lagi Pak Emir Siregar, juga dosen IPB dan ketua IRC. Beliau juga sahabat Pak Fahidin. Mereka sedang merundingkan siapa yang akan ditunjuk untuk menjadi pelaksana harian kepala Perpustakaan IPB dan pelaksana harian ketua jurusan PIP selama beliau ke luar negeri. Pilihan mereka jatuh padaku. Aku ditunjuk untuk menjadi PLH Kepala Perpustakaan selama kepala perpustakaan IPB menjalankan tugas ke luar negeri. Seingat aku yang menjadi PLH Ketua Jurusan PIP adalah Pak Slamet Ma’oen. Tetapi karena aku juga menjadi sekretaris di Jurusan PIP, maka pekerjaan-pekerjaan di Jurusan PIP tetap menjadi tanggung jawabku. Disinilah aku mulai belajar manajemen. Kata orang aku belajar dengan cara “learning by doing”.

Selama menjalankan manajemen perpustakaan sebagai PLH, aku banyak mendapatkan tantangan. Aku yang baru saja masuk menjadi pegawai negeri dan baru diangkat sebagai CPNS sudah diminta memimpin perpustakaan. Perpustakaan IPB lagi. Staf yang aku pimpin banyak yang sudah sangat senior dan sudah puluhan tahun bekerja di Perpustakaan IPB. Beberapa staf tersebut pernah menjadi Kepala Perpustakaan Fakultas sebelum ada perubahan struktur dan digabung menjadi Perpustakaan IPB. Aku melakukan pendekatan ke staf-staf senior perpustakaan dan selalu minta nasehat. Setidaknya aku selalu minta pendapat jika mau memutuskan sesuatu sebagai “second opinion”. Saat aku memutuskan siapa yang akan diangkat menjadi PNS pada saat itu, aku salah memutuskan. Aku tidak melihat senioritas pegawai honorer yang mau diangkat. Jadilah pegawai honorer yang lebih muda diangkat lebih dulu daripada pegawai yang lebih lama menjadi pegawai honorer. Sebetulnya keputusanku itu dikatakan salah juga tidak sepenuhnya benar. Sebab pada waktu itu aku lebih melihat kepada performance dan kompetensi pegawai yang akan diangkat. Aku memilih yang terbaik dari calon yang ada, bukan memilih berdasarkan senioritas. Namun akibatnya fatal bagi saya. Bertahun-taun aku tidak bisa mendekati staf yang merasa di”dzolimi” itu. Namun ketika yang bersangkutan pada akhirnya dapat diangkat mennjadi PNS, aku menjadi dekat dengan beliau, bahkan orang itu menjadi andalanku ketika aku memimpin bidang pelayanan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar